Dokumen foto kegiatan pendampingan pemeriksaan korban di kepolisian |
“Di usia 8 tahun, seorang anak perempuan menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh tetangganya. Orang tua korban memutuskan untuk melaporkan kasus korban dan mengharuskan korban memberikan keterangan di usianya yang masih senang bermain. Selain itu para saksi yang dihadirkan juga berusia sepantaran dengan korban. Seperti yang telah kita ketahui bahwa proses pemeriksaan di kantor polisi memakan waktu yang lama, hal tersebut membuat korban dan para saksi yang masih usia anak mudah jenuh, bosan, bahkan sulit memberikan keterangan dengan jelas karena mereka suka berlarian, berteriak dan bermain. Kemudian untuk memudahkan korban dan saksi menjelaskan tentang tempat kejadian perkara (TKP), penyidik meminta mereka untuk menggambar di papan”.(Enha - Pendamping)
Dokumen foto kegiatan pendampingan sidang online |
“Waktu itu saya berumur
16 tahun dan bertemu dengan dia yang berusia 25 tahun (pelaku), dia mengajak
saya untuk pacaran dan saya pun menyukainya. Tapi kemudian saya dibawa ke dunia
gelapnya. Dia bermain dengan narkotika, dia bahkan mengajak saya untuk
melakukan pencurian motor, dia juga memaksa saya untuk melakukan hubungan
seksual hingga saya hamil, dan yang lebih menyakitkan adalah mengetahui
kenyataan bahwa dia ternyata sudah memiliki istri, artinya selama ini saya
telah dibohongi. Ketika ia ditangkap polisi karena kejahatannya terungkap, saya
pun terseret. Namun berkat perjuangan orang tua saya dan kondisi saya yang
hamil, saya tidak sampai masuk sel tahanan. Kondisi saya yang hamil tua membuat
saya diperbolehkan menjalani sidang di rumah secara online dengan bantuan
pendampingan dari WCC Jombang”(Ilustrasi kasus KDP)
Dokumen foto kegiatan konsultasi hukum dan pembinaan psikologis di Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Jombang |
“ Di usia 17 tahun, saya mengalami kehamilan tidak di inginkan oleh pacar saya dan terpaksa tidak lagi melanjutkan sekolah dan berhenti dikalas 3 SMA. Sayapun menikah secara siri diusia yang masih sangat muda, hingga anak saya berusia 8 bulan status pernikahan kita masih dibawah tangan. Kami hidup dalam kesulitan secara ekonomi, suami saya yang minim skill dan keterampilan membuatnya terbiasa melakukan tindak pidana pencurian motor. Pada siang hari saya diajak membeli susu bayi kami kemudian saya diberhentikan di suatu tempat dan tidak ada pilihan lain, saya pun terpaksa mengabaikan perilaku suami yang melanggar hukum. namun tidak lama berselang dari perubahan tersebut saya pun di jemput paksa oleh pihak kepolisian dengan dugaan turut serta melakukan pencurian motor. Saya harus berhadapan dengan hukum meninggalkan anak yang masih dalam pengasuhan dan membutuhkan ASI Ekslusif. Selama di Lapas tidak ada yang bisa saya lakukan selain berdoa dan terus menangis dan menyesali segala apa yang terjadi pada hidup saya. (N (19 Th) - Ilustrasi Warga Binaan Pemasyarakatan Perempuan - Lapas Jombang)
Dokumentasi foto kegiatan mediasi di Polres Jombang |
“Awalnya saya hanya berkonflik dengan suami saya. Saya pernah melaporkan suami saya yang berprofesi sebagai polisi atas tindakan KDRT, setelah dia memukuli saya hingga saya mengalami Cedera Otak Ringan (COR). Dia sempat masuk ke sel tahanan dan ketika dia keluar, kami memutuskan untuk bercerai. Dia membawa ketiga anak laki-laki saya dan saya selalu dihalangi untuk bertemu dengan mereka. Saya dekat dengan anak-anak saya, mereka juga sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari suami saya yang juga ayah kandung mereka (dicaci-maki, dibentak, ditampar, dipukul, dianiaya ketika sakit). Namun setalah lama tidak bertemu, tiba-tiba anak-anak saya berubah dan mereka membenci saya, bahkan anak pertama saya melaporkan saya atas tindak KDRT karena saya ingin mengambil anak ketiga yang masih berusia 3 tahun. Saat mediasi di kantor Polisi, anak saya mengatakan akan mencabut laporannya dengan syarat saya harus menyerahkan hak asuh anak ketiga pada mantan suami saya/ayahnya. Padahal berdasarkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama, hak asuh anak ketiga yang berusia 3 tahun jatuh ke tangan saya. Saya tidak sepakat jika harus menyerahkan pengasuhan anak pada mantan suami karena khawatir dengan pengaruh buruk lingkungannya. Kini saya pasrah, anak saya tetap akan melanjutkan laporanya. Kalaupun nanti saya masuk sel tahanan, saya terima dengan ikhlas karena saya paham bahwa itu bukan kemauan anak saya sendiri melainkan suruhan mantan suami. Saya akan tetap menyayangi anak-anak saya, merindukan mereka dan mendo`akan yang terbaik untuk mereka.”( Ilustrasi Suara korban KDRT )